Check out this SlideShare Presentation:
Cara Posting Powerpoint di Blog
Selasa, 05 April 2011
Diposting oleh
jafar shodiq sahrudin
di
01.54
0
komentar
SENGKETA PERBATASAN ANTAR NEGARA DI KAWASAN ASIA PASIFIC
Senin, 04 April 2011
tak dapat disangkal, salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar negara adalah masalah perbatasan. Indonesia juga menghadapi masalah ini, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara tetangga.
Bila dicermati, banyak negara-negara di Asia Pasific juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka. Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara lain:
a. Ketidaksepahaman mengenai garis perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui mekanisme perundingan (bilateral dan ).
b. Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawa-san ini, maupun dari luar kawasan.
c. Eskalasi aksi terorisme lintas negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga.
Dengan melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik menyimpulkan bahwa, selain kawa-san Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara, memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, dan hal itu tentu berdampak bagi Indonesia.
Potensi konflik antar negara di sekitar Indonesia (kawasan Asia Pasific) sesungguhnya sangat bervariasi. baik sifat, karakter maupun intensitasnya. Namun memperhatikan beberapa konflik terbatas dan berinsentitas rendah yang terjadi selama ini, terdapat beberapa hal yang dapat memicu terjadi-nya konflik terbuka berintensitas tinggi yang dapat berkembang menjadi konflik regional bahkan inter-nasional. Faktor potensial yang dapat menyulut per-sengketaan terbuka itu antara lain:
a. Implikasi dari internasionalisasi konflik internal di satu negara yang dapat menyeret negara lain ikut dalam persengketaan.
b. Pertarungan antar elite di suatu negara yang karena berbagai faktor merambat ke luar negeri.
c. Meningkatnya persaingan antara negara-negara maju dalam membangun pengaruh di kawa-san ini. Konfliknya bisa berwujud persengketaan antar sesama negara maju, atau salah negara maju dengan salah satu negara yang ada di kawasan ini. Meski masih bersifat samar-samar, namun indikasinya dapat dilihat pada ketidaksukaan Jepang terhadap RRC dalam soal penggelaran militer di perairan Laut Cina Selatan yang dianggap menggangu kepentingan nasional Jepang. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ASEAN, dan negara-negara maju, gejala serupa yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan (conflict of interesf) juga tercermin pada penolakan Amerika Serikat terhadap usul Indonesia dan Malaysia mengenai pembentukan "Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara" (South East Asia Nuclear Free Zone) beberapa tahun lampau.
d. Eskalasi konflik laten atau konflik intensitas rendah (low intensity) antar negara yang berkem-bang melampaui ambang batas toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak ketiga terlibat didalamnya. Ini biasanya, bermula dan "dispute territorial" antar negara terutama mengenai garis batas perbatasan antar negara.
Sengketa Perbatasan
Hingga saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan. Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan "dispute territorial" yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun ke-amanan kawasan, antara lain;
a. Sengketa Indonesia dan Malaysia mengenai garis perbatasan di perairan laut Sulawesi menyusul perubahan status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan garis perbatasan di pulau Kalimantan (salah satunya mengenai blok Ambalat);
b. Perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor;
c. Konflik historis antara Malaysia dan Filipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Kesultanan Sabah Malaysia Timur;
d. Konflik antara Malaysia dan Singapura tentang pemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca) di Selat Johor;
e. Ketegangan sosial politik laten Malaysia dan Thailand di wilayah perbatasan;
f. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Brunei mengenai batas wilayah tak bertanda di daratan Sarawak Malaysia Timur serta batas wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif;
g. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Vietnam mengenai batas wilayah di perairan lepas pantai dari masing-masing negara;
h. Konflik berlarut antara Myanmar dan Bangladesh di wilayah perbatasan;
Ketegangan antara Myanmar dan Cina mengenai batas wilayah kedua negara;
j. Sengketa Myanmar dan Thailand, mengenai perbatasan ke dua negara;
k. Sengketa berlaRut antara Cina dengan India mengenai perbatasan kedua negara;
l. Konflik antara Vietnam dan Kamboja di wilayah perbatasan kedua negara;
m. Sengketa antara Cina dan Vietnam tentang pemilikan wilayah perairan di sekitar Kepulauan Paracel;
n. Konflik laten antara Cina di satu pihak dengan Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam di lain pihak sehubungan klaim cina atas seluruh perairan Laut Cina Selatan;
o. Konflik intensitas rendah (Low intensity) antara Cina dengan Filipina, Vietnam dan Taiwan mengenai status pemilikan wilayah perairan Kepulauan Spratly;
p. Konflik antara Cina dengan Jepang mengenai pemilikan Kepulauan Senaku (Diaoyutai);
q. Sengketa antara Cina dengan Korea Selatan mengenai pemilikan Liancourt Rocks (Take-shima atau Tak do) dibagian selatan laut Jepang;
r. Konflik antara Cina dengan Korea Selatan mengenai batas wilayah perairan teritorial;
s. Sengketa berlarut antara Rusia dengan Jepang mengenai status pemilikan Kepulauan Kuril Selatan;
t. Sengketa antara Cina dengan Taiwan sehubungan rencana reunifikasi seluruh wilayah Cina oleh RRC;
u. Sengketa India dan Pakistan mengenai status wilayah Kashmir.
Memperhatikan anatomi persengketaan di atas, maka tampak sebagian besar terjadi pada garis per-batasan di perairan laut.
Indonesia dan Kepentingan Internasional
Indonesia tentu patut mewaspadai perkembangan yang terjadi di sekitarnya terutama di ka-wasan Asia Pasific. Sebab konsekuensi letak geo-grafis Indonesia dipersilangan jalur lalulintas internasional, maka setiap pergolakan berapa pun kadar intensitas pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Apalagi jalur suplai kebutuhan dasar terutama minyak beberapa negara melewati perairan Indonesia. Jalur pasokan minyak dari Timur Tengah dan Teluk Persia ke Jepang dan Amerika Serikat, misalnya, sekitar 70% pelayarannya melewati perairan Indonesia. Karenanya sangat wajar bila berbagai negara berkepentingan mengamankan jalur pasokan minyak ini, termasuk di perairan nusantara, seperti, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Ombai Wetar, dan lain-lain.
Pasukan Beladiri Jepang secara berkala dan teratur mengadakan latihan operasi jarak jauh untuk mengamankan area yang mereka sebut sebagai "life line," yakni, radius sejauh 1000 mil laut hingga menjangkau perairan Asia Tenggara. Hal yang sama juga dilakukan Cina, Australia, India, termasuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penutupan jalur-jalur vital tersebut oleh negara-negara di sekitarnya (termasuk Indonesia.)
Keberadaan Indonesia dipersilangan jalur pelayaran strategis, memang selain membawa keberuntungan juga mengandung ancaman. Sebab pasti dilirik banyak negara. Karena itu sangat beralasan bila beberapa negara memperhatikan dengan cermat setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Australia misalnya, sangat kuatir bila Indonesia mengembangkan kekuatan angkatan laut, yang pada gilirannya dapat memperketat pengendalian efektif semua jalur pelayaran di perairan nusantara.
Patut diingat, penetapan sepihak selat Sunda dan selat Lombok sebagai perairan internasional oleh Indonesia secara bersama-sama ditolak oleh Ameri-ka Serikat, Australia, Canada, Jerman, Jepang, Ing-gris dan Selandia Baru. Tentu apabila dua selat ini menjadi perairan teritorial Indonesia, maka semua negara yang melintas di wilayah perairan ini harus tunduk kepada hukum nasional Indonesia, tanpa mengabaikan kepentingan internasional.
Hal yang patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini terbelit konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah yang berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan lain-lain. Kenyataan ini patut diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan adanya pihak luar yang bermain di dalam konflik yang terjadi di beberapa daerah ini. Selain itu sebab jika Indonesia gagal mengatasinya, dan konflik yang terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan pelayaran internasional, maka berdasarkan keten-tuan internasional, negara asing diperbolehkan menu-runkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan dunia.
Dalam rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By High Readness Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu siap digerakkan ke suatu target sebagai "muscular peace keeping force."
Indonesia dan Asean
Selain terkait dengan kepentingan internasional (baca: negara-negara maju), Indonesia sebenarnya menghadapi beberapa persoalan latent dengan sesama negara anggota Asean. Penyebabnya selain karena perbedaan kepentingan masing negara yang tak dapat dipertemukan, juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat dinamika sosial politik dimasing-masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi terorisme di kawa-san ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda dalam soal tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah dalam penangkapan ikan, dan sebagainya.
Hal yang sama juga bisa terjadi dengan Singa-pura dalam soal pemberantasan korupsi, penyelundupan dan pencucian uang. Sedangkan dengan Ti-mor Leste masalah pelanggaran hak asasi manusia dimasa lampau dan lalulintas perbatasan kerap masih jadi ganjalan bagi harmonisasi hubungan kedua negara.
Mengenai pengendalian pelayaran di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap keras menolak usulan Indonesia untuk mengalihkan seba-gian lalu lintas pelayaran kapal berukuran besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat Makasar. Padahal jalur pelayaran di selat ini tidak hanya diper-gunakan untuk armada niaga tetapi juga bagi kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu bila ka-pal-kapal perang dari dua negara yang sedang bertikai berpapasan di perairan Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir tampak adanya upaya beberapa negara Asean telah melipatgandakan kekuatan militernya. Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dari beberapa data tampak bahwa dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan peningkatan yang signifikan diantara negara-negara di Asia Teng-gara. Untuk memperkuat angkatan laut, misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal perang canggih, dan siap beroperasi hingga sejauh di atas 200-300 mil demi mengamankan kepentingan negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan Thailand yang banyak beroperasi di perairan teritorial Indonesia.
Malaysia juga tak ketinggalan menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja Malaysia, setidaknya dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan penambahan kekuatan, kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra negara-negara maju demi mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan Asia Tenggara.
Dengan berbagai perkembangan itu, maka tantangan Indonesia dalam aspek pertahanan dan keamanan negara jadi berat. Indonesia selain dituntut mampu mempertahankan keamanan dalam negerinya, juga mesti dapat memainkan peran yang berarti demi terpeliharanya keamanan regional di Kawasan Asia Pasific. Padahal disisi lain, kekuatan elemen pertahanan dan keamanan Indonesia tidak dalam kondisi prima. Baik dari aspek kemampuan sumber daya manusianya maupun dari segi kesiapan materil dan dukungan finansial. Inilah kondisi dilematis yang dihadapi Indonesia dewasa ini yang patut segera dicari jalan keluarnya. ©
Paulus Londo (Pengamat Sosial Politik)
http://www.tnial.mil.id
Diposting oleh
jafar shodiq sahrudin
di
05.57
0
komentar
CIVIC EDUCATION DI TAJIKISTAN
Rabu, 30 Maret 2011
CIVIC ESUCATION DI TAJIKISTAN
PENDAHULUAN
Sampai Tajikistan merdeka pada tahun 1991 pendidikan kewarganegaraan
didominasi oleh ide-ide ideologi tersebar di seluruh Soviet Uni. ideologi Soviet menembus semua tingkat kehidupan mulai dari pra-sekolah dan terus berlanjut sampai sekolah menengah, pendidikan tinggi, dan sepanjang hidup. Tidak adanya non-pemerintah atau ketiga sektor dan kurangnya pendekatan alternatif atau persepsi sipil
Teman-tugas yang dihasilkan masyarakat suatu kebijakan ideologis yang mendominasi semua bidang pendidikan.
Dominasi ini dapat dilihat pada kewarganegaraan pendidikan yang diajarkan melalui kedua kegiatan institusi resmi bertindak atas dasar standar negara dan dalam pendidikan informal institusi (mulai dari klub sekolah sampai dengan program universitas di Marxisme-Leninisme).Bahkan selama Uni Soviet, pendidikan kewarganegaraan difokuskan pada mendidik warga tentang masyarakat pemerintah, warga, dan propaganda yang menguntungkan bagi ideologi negara. Soviet sipil pendidikan benar-benar diterapkan pada warga, dan warga negara tidak memiliki pilihan lain selain untuk belajar dan pergi bersama dengan ideologi, ada tidak ada ruang untuk interpretasi individu.
Pemerintah menggunakan semua institusi publik dan kadang-kadang bahkan kekerasan jika perlu untuk mempersiapkan warga negara untuk hidup di dan bangga dari sebuah masyarakat komunis. Ini bukan sebuah kebetulan bahwa bahkan dalam Ensiklopedia Soviet dan Filosofis Kamus, tidak ada menyebutkan masyarakat sipil atau pendidikan kewarganegaraan. Namun, istilah sipil pendidikan memang permukaan pada paruh kedua tahun 1970-an setelah subjek, "Etika dan psikologi kehidupan keluarga" diperkenalkan di sekolah-sekolah. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian penting sebagian besar lebih umum proses sosialisasi dalam pembangunan demokrasi.
Dalam Soviet sistem, warga negara dibesarkan dalam semangat pengabdian kepada negara dan memiliki kewajiban untuk mematuhi otoritas di semua biaya. Dalam Soviet sistem, keyakinan diberi penting daripada memiliki tinggi pengetahuan atau keterampilan. Pendidikan sistem politik ditangani dengan propaganda - pembentukan gambar yang menarik realitas bukannya penyebaran informasi yang obyektif.
Metode pemilihan material khusus (teks pada sastra, sejarah dan mata pelajaran lain, termasuk ekstrakurikuler dan kelas opsional) digunakan dalam kurikulum ilmu sosial. Anak sekolah dari kelas senior dan sekolah menengah khusus digunakan untuk mempelajari mata pelajaran, "Ilmu Sosial" dan "Prinsip negara dan hukum ". sekolah Rencana operasi sepenuhnya ditujukan untuk ideologis pendidikan."Dialektis Materialisme ", "Sejarah Materialisme "dan" Ilmiah Komunisme "adalah disiplin waji dalam sistem pendidikan tinggi dengan wajib yang terakhir di kelulusan ujian negara. Setelah kemerdekaan Tajik di awal 1990-an, ide tentang politik pluralisme mulai berkembang, tapi karena masyarakat Tajik tidak siap untuk menerima nilai-nilai demokrasi tanpa instrumen (ideologi) politik pengaruh yang mendominasi sebagian besar orang, demokrasi lambat mengembangkan dan akhirnya perang saudara dikonsumsi negara. Kebutuhan masyarakat modern perubahan permintaan Tajik di saat ini sistem pendidikan kewarganegaraan.
Arah diidentifikasi setelah sejarah 16 Sesi Majelis Agung Republik Tajikistan diadakan pada tahun 1992 untuk pembentukan yang demokratis, temporal dan negara hukum, menetapkan bahwa sistem baru kewarganegaraan pendidikan akan dibuat. Pendidikan kewarganegaraan diterapkan melalui pembentukan kualitas manusia dan keterampilan yang memungkinkan warga untuk menjadi akrab dengan sistem politik demokratis dan ideologi negara.
Selain itu, pendidikan kewarganegaraan memainkan peran sosial melalui pembentukan nilai-nilai demokrasi umum dan peraturan yang warga menggunakan untuk memerintah mereka hidup. Karena perang sipil dan kesulitan ekonomi yang dihasilkan, Tajikistan telah bergerak perlahan-lahan dalam hal mengembangkan negara baru ideologi dan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Pengajaran generasi baru selama periode ketika nilai-nilai demokrasi tidak menjadi dominan dalam masyarakat terbukti sulit. Selain itu, pada awal 90-an potensi pemimpin membayar layanan bibir untuk nilai-nilai demokrasi dan menggunakan nilai-nilai sebagai alat propaganda, tetapi mereka gagal untuk mengejar pencapaian ini nilai. Bahkan dengan semua masalah ini, 1991-2006 kecil perubahan yang terlihat pada ideologi masyarakat sebagai akibat dari pengaruh dan internasional organisasi-organisasi asing.
Perlahan hari demi hari pluralisme merayap ke dalam masyarakat. Selain itu, sistem Soviet pendidikan kewarganegaraan hilang selama periode ini, dan sistem baru berdasarkan kedua dan non-pemerintah program pemerintah muncul. proses pengembangan sistem baru pendidikan kewarganegaraan belum selesai. Saat ini, mencari kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat dan akan mempromosikan modernisasi sedang berlangsung. Selama 15 tahun terakhir, pendidikan kewarganegaraan di Tajikistan telah diubah dalam cara berikut:
• 1991 - 1999 - review dan renovasi pendidikan kewarganegaraan kurikulum, kejuruan, dan pendidikan menengah tinggi sekolah; pengenalan subjek, "Sejarah Negara" bukannya "Sejarah Uni Soviet" dan "Sejarah Tajik RSK (Republik Soviet Sosial) "; penelaahan isi humaniora mata pelajaran dalam kurikulum sekolah; renovasi isi dari kurikulum untuk mata pelajaran di kejuruan dan pendidikan tinggi; pengenalan mata pelajaran baru seperti Politik Ilmu, Teori Ekonomi, Teori Politik dan Hukum Study, Etika, Estetika, dan pertemuan ilmiah modern dan pendekatan pendidikan dikembangkan dan diterima.
• 1997 - proyek donor pertama yang berfokus pada pendidikan informal
dilakukan.
• 1999 - 2000 - Pengenalan subjek "Human Rights" dan baru mata pelajaran pada berbagai spesialisasi seperti "Hak Konstitusi", "Kewirausahaan Hak" diperkenalkan ke dalam hukum kurikulum dalam sistem pendidikan tinggi. Sebuah "Humaniora"buku ditulis oleh sekelompok penulis dari Filosofi dari Ketua Budaya dari Universitas Negeri Pedagogical Tajikdinamai K. Juraev
• 2001 - "Negara Sistem Pendidikan di bidang manusia hak di Republik Tajikistan "program (Keputusan Pemerintah Republik Tajikistan dari 12 Juni 2001 nomor 272) diterbitkan
• Metode pertama berdasarkan buku diterbitkan dan pengembangan program Konstitusi dan Hak Asasi Manusia didirikan
• Terdapat peningkatan dalam proyek-proyek yang berfokus pada pendidikan kewarganegaraan di dua lingkungan: dan informal pendidikan tinggi
• 2003 - Sebuah program baru yang disebut "Prinsip-prinsip Negara dan Hukum" untuk 8-11 nilai dari sekolah menengah didirikan termasuk baru saja, "Human Rights" untuk kelas 10-11 sekolah, dalam jam kelas tambahan untuk mata pelajaran ini telah meningkatkan 6 jam.
Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah pembentukan Tajikistan
suatu yang berkelanjutan, masyarakat sipil yang dinamis. Salah satu cara untuk membantu's sipil masyarakat
pembangunan dan membantu menyelesaikan masalah ini akan membuat warga
kurikulum pendidikan yang akan mencakup berbagai bidang kehidupan bermasyarakat
dan aktivitas termasuk:
•Pemerintah Daerah
•Pemilihan
•Masalah gender, kesadaran gender, dan pendidikan
•Opini publik di media massa, masalah korupsi dan
transparansi badan-badan negara
•Kesadaran hukum dan pendidikan (termasuk hak asasi manusia
perempuan, anak-anak, tahanan, dll)
• Advokasi kampanye
• Kesadaran dan pendidikan kaum muda, anak-anak, dan remaja
• Kesadaran dan pendidikan orang dengan kesempatan terbatas
• Kesadaran dan pendidikan tentang gaya hidup sehat (termasuk
reproduksi kesehatan)
• Keamanan kehidupan
• Masalah ekologi
Perkembangan lebih lanjut dari pendidikan kewarganegaraan di Tajikistan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam masyarakat dan pemerintah.
Namun,kreativitas yang tidak terkoordinasi oleh organisasi yang bekerja di bidang sipil pendidikan tidak mempromosikan efisiensi atau mengarah pada pendidikan populasi. Selain itu, pengembangan pendidikan kewarganegaraan tidak efisien dalam sistem pendidikan negara memiliki dampak negatif bagi pengembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan.
Pendirian Pendidikan meliputi:
• Sekolah
• Lyceums
• Gimnasium
• Universitas.
2. TINJAUAN PROGRAM DAN PROYEK PADA CIVIC PENDIDIKAN DI TAJIKISTAN
Prasyarat
Modern pendekatan untuk identifikasi sebuah pendidikan kewarganegaraan
struktur meliputi aspek-aspek berikut:
1. Kognitif (epistemologis) aspek, dihubungkan dengan mendapatkan pengetahuan;
2. Berbasis nilai (aksiologis) aspek, diidentifikasi oleh pembentukan tertentu berdasarkan nilai orientasi;
3 kualitas pendidikan. Aspek, menyediakan pembentukan pribadi;
4. Aspek kegiatan berbasis, mengarahkan proses pembelajaran untuk memperoleh
keterampilan dan kemampuan khusus.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan dalam sebuah masyarakat demokratis adalah untuk mendidik warga tentang demokrasi dan meyakinkan mereka tentang nilai-nilai dan hak istimewa ditemukan dalam gaya-hidup yang demokratis; menciptakan warga negara yang bebas, mandiri, dan dapat berpikir kritis serta meningkatkan mereka
keterampilan yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan partisipasi politik.
Gambaran umum dan tujuan program dan proyek di
sistem pendidikan negara TAJIKISTAN
Sebuah jajak pendapat dilakukan antara wakil-wakil pemerintah badan-badan yang bekerja di pendidikan kewarganegaraan dan khususnya mereka yang bertanggungjawab atas mendidik anak sekolah tentang kewarganegaraan (Departemen Pendidikan, Akademi Ilmu Pengetahuan Republik Tajikistan, pendidikan tinggi
perusahaan di, guru dan siswa negara sekunder sekolah, sekolah kejuruan, dan universitas) untuk menjelaskan bagaimana pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan. Fokus-kelompok dan individu wawancara dilakukan. Perwakilan dari berbagai organisasi melaksanakan proyek pendidikan kewarganegaraan di Tajikistan yang disurvei.
Data juga dikumpulkan dari sumber-sumber resmi informasi termasuk
website, selebaran informasi, dan publikasi. Selama jajak pendapat, buku pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan sumber daya lainnya digunakan untuk mengajarkan pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan negara telah diidentifikasi.
Pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan negara TAJIKISTAN
Sampai "perestroyka" di tahun 80-an pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan melalui pendidikan kursus seperti "Ilmu Sosial" dan melalui sekolah khusus
struktur termasuk kelompok-kelompok studi, pemimpin perintis, dan Komsomol kelas kelompok. Dalam sistem dan pendidikan tinggi kejuruan, kewarganegaraan pendidikan telah diajarkan melalui garis ideologis - melalui lokal Komsomol, serikat buruh, atau cabang partai maupun melalui memperoleh pengetahuan melalui kursus tentang berbagai subjek lain melalui prisma Leninis filosofis ide-Marxis. Setelah runtuhnya Uni Soviet, sebuah vakum ideologis muncul dan kekuatan politik tertentu mencoba untuk mengisi dengan yang baru isi ideologis dan masalah utama adalah apakah Tajikistan adalah bersedia untuk memilih cara sekuler pembangunan.
Krisis ekonomi sebagai akibat dari perang saudara tiba-tiba dikurangi mencetak peluang di negara ini dan menjadi kendala dalam pengembangan buku teks. Akibatnya, semua buku pelajaran baru yang digunakan dikembangkan di luar negeri dan tidak selalu mencerminkan Tajik konteks. Selain itu, ada kekurangan buku sehingga baru buku yang digunakan bersama dengan tanggal Soviet buku-out dan bahan. Kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang telah dibuat termasuk filosofis dan historis aspek pembangunan di masyarakat dalam umum.
1.Pendidikan Sekolah
Pada 90-an, sebuah buku Rusia "Manusia dan Masyarakat" olehLN Bogolyubov, digunakan untuk periode beberapa sebagai pengganti ke tua Soviet buku "Ilmu Sosial" di sekolah menengah itu. Namun tidak mungkin untuk memberikan semua sekolah dengan buku teks karena kesulitan dalam pengiriman dan kurangnya kesempatan pencetakan. Untuk ini Alasannya, buku pelajaran lama "Ilmu Sosial" sering digunakan. Kemudian Tajik penulis menerbitkan sebuah buku "Inson va Jomea" ("Manusia dan Masyarakat "- diterbitkan oleh G. Zokirov, N. Saidov, T. dan I. Ziyoev Mirzoev tahun 2000) di Tajikistan. Saat ini buku pelajaran dari "Asoshoi Davlat Huquq va "[Prinsip Negara dan UU] (penulis: M. Mahmudov, M. Rahimov) digunakan untuk mengajar subyek dari "Prinsip Negara dan Hukum "untuk 9 kelas di sekolah menengah.
Pada tahun 2002, Departemen Pendidikan mempelajari masalah memperkenalkan subjek berjudul "Kewarganegaraan Studi" ke sekolah kurikulum tetapi keputusan pada masalah ini tidak dibuat. Pengenalan subjek "Human Rights" ke dalam kurikulum sekunder, kejuruan, dan beberapa pendidikan tinggi lembaga-lembaga (di Departemen "Pengacara-Guru" dari Negara Pedagogical University) telah memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan negara.
Kurikulum dan program tentang hal ini dikembangkan dan
disetujui pada tahun 2004. Dari awal tahun 2006 akademis, subyek "Human Rights" diperkenalkan di kelas 10 dan 11 sekunder sekolah sebagai pengganti subjek wajib "Ilmu Sosial". Informasi Hak Asasi Manusia dan Pusat Dokumentasi (HRIDC) dengan dukungan dari PBB Tajikistan Office untuk Perdamaian (UNTOP) Proyek Daerah (Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Tinggi Komisaris Hak Asasi Manusia di Tengah UNTOP Asia, dan UNDP) telah selesai pengembangan buku teks pada hak asasi manusia untuk 10 kelas. Pakar dari Departemen Pendidikan Tajikistan, pengacara, dosen universitas (Tajik Negara National University), dan sekolah guru berpartisipasi dalam pengembangan buku ini. buku ini "Hak Asasi Manusia" untuk kelas 10 dibahas di sebuah meja bundar dilaksanakan pada 2 Februari 2007 di mana spesialis dari Departemen Pendidikan, penulis buku - profesor dari Tajik Negara Universitas Nasional, karyawan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Tajik, dan sekolah menengah guru merekomendasikan buku teks untuk digunakan. Para penulis buku adalah: TN Ziyoev, Z. Iskandarov, G. Lutfanov, Mahmudov MA, Sh. M. Mengliev, N. Murodova, EM Pavlenko, R. Salikhova, R. Sh. Sativoldiev, UZ Tohirov dan Khalikov AG. Saat ini di sekolah menengah kewarganegaraan pendidikan diajarkan dalam mata kuliah wajib seperti "Prinsip Negara dan Hukum "untuk anak kelas 9 dan" Hak Asasi Manusia "untuk kelas 10-11 murid. Berbagai buku diterbitkan di Rusia sedang digunakan sampai buku baru selesai.
Pada tahun 2002, sebuah bagian buku dua "Kewarganegaraan dan Partisipasi dalam Manajemen (peran Anda dalam masyarakat sipil dari abad ke-21) ", yang dirancang untuk 9 anak kelas diterbitkan dalam bahasa Rusia dan bahasa Tajik dengan dukungan dari Yayasan Internasional untuk Sistem Pemilu (IFES). Publikasi ini tersedia di perpustakaan sekolah-sekolah menengah di Dushanbe dan Daerah Soughd.
Sejarah dan guru ilmu sosial Kursus persiapan hadir pada tahun 2002 untuk belajar tentang buku dan bagaimana untuk mengajar subjek dengan dukungan dari IFES. Beberapa guru menggunakan buku selama kelas ekstrakurikuler mereka. buku ini ditulis oleh sekelompok penulis termasuk: S. Jononov, A. Imomov, A. Kataev, M.
Horisova dan S. Olimova. «Comments on Konstitusi Republik Tajikistan digunakan sebagai buku teks tambahan selama kelas prinsip negara dan hukum.
2 Pendidikan Tinggi
kurikulum Universitas di negeri ini bervariasi secara signifikan dalam satuan dari mata pelajaran yang diajarkan dan isinya tergantung pada setiap universitas. Berikut subyek pada dan politik ilmu hukum yang terkait dengan kewarganegaraan pendidikan diajarkan di sejumlah perguruan tinggi:
• "Ilmu Politik etnis" - pada Departemen Politik Ilmu Nasional Universitas Negeri Tajik;
• "Ilmu Sosial" - sebagai pelajaran wajib di semua tinggi pendidikan perusahaan negara;
• "Konflik Science" - di berbagai fakultas beberapa tinggi pendidikan perusahaan;
• "Human Rights" - di Pedagogical Universitas Negeri Tajik
dinamai Kandil Juraev dan pada Kemanusiaan InternasionaL Universitas.
Sebuah "Seri kuliah tentang hak asasi manusia" diumumkan dalam Tajik untuk
mahasiswa Departemen "Pengacara-Guru" di Negara Tajik
Pedagogis Universitas dinamai K. Juraev.
Pada bulan November 2006, Ketua Hak Asasi Manusia didirikan
di Fakultas Hukum Universitas Negeri Nasional Tajik. Ini
universitas berencana untuk memasukkan subjek "Human Rights" dalam
kurikulum dimulai pada bulan September 2007.
Pada tahun 1999 program pada isu-isu gender dan peran perempuan
diperkenalkan ke dalam sistem sekolah menengah dan tinggi
pendidikan. Pada tahun 1999, Tajik-Rusia Slavia Universitas mulai mengajar
kursus "Jender dan Kebudayaan" untuk pertama kalinya. Dari 2001 sampai 2004
kursus khusus berikut diperkenalkan dengan kurikulum pada
Jurnalisme Departemen Tajik-Rusia University Slavia:
•"Gender dan Kebudayaan"
•"Stereotip Jender dalam Sastra"
•"Stereotip Gender dalam Jurnalisme"
• "Dimensi Gender Media Massa"
3. Kegiatan Organisasi Negara
Pengenalan dasar hukum negara yang baru diciptakanstruktur di eksekutif aparat negara. Sistem baru ini memiliki tugas pendidikan demokratis selain memberikan jaminan hukum bagi warga dan pengembangan demokrasi-politik peristiwa sosial dalam negeri.
Selama beberapa tahun terakhir Departemen Jaminan Konstitusi dan Hak Asasi Warga Eksekutif Aparatur Presiden Tajikistan telah diterjemahkan ke dalam Tajik dan dipublikasikan Utama Kisah Internasional tentang Hak Asasi Manusia - International Bill Hak Asasi Manusia, dan Hak Asasi Manusia Internasional Kisah diratifikasi oleh Republik Tajikistan. Proyek ini dilaksanakan dari tahun 2000 - 2002 dengan dukungan dana dari Kantor Kerjasama Swiss Tajikistan. Terjemahan dari hak asasi manusia internasional utama dokumen ke dalam Tajik dan diseminasi dan aplikasi dalam proses pendidikan pada semua tingkatan sangat penting karena dalam Pasal 10 dari Konstitusi Tajikistan, perbuatan hukum internasional diratifikasi oleh Tajikistan dianggap menjadi bagian utama dari hukum sistem negara.
Komite Urusan Pemuda di Pemerintah Republik Tajikistan juga sangat penting dalam sistem organisasi pemerintah menangani pendidikan kewarganegaraan. Ini organisasi telah mengimplementasikan proyek-proyek pendidikan kewarganegaraan untuk pemuda. Sejak 2004 telah melakukan kampanye informasi migrasi, perdagangan manusia, dan perlindungan dari kekerasan.
4 Pendidikan di Sektor Informal
Bagian informal dari pendidikan kewarganegaraan disajikan oleh luas
kegiatan organisasi internasional dan lokal OMS melaksanakan proyek mengenai berbagai isu yang berhubungan dengan pendidikan kewarganegaraan. Tujuan dan
tugas organisasi-organisasi ini bervariasi dari spektrum yang luas dari pendidikan,
mengajar, dan informasi program dan proyek.
Kegiatan Organisasi Internasional di Republik Tajikistan
Organisasi-organisasi internasional di Tajikistan melaksanakan sendiri proyek dan juga mendukung proyek OMS lokal.
• PBB Tajikistan Kantor Membangun Perdamaian
Adalah didirikan pada tahun 2002 dan mendukung proyek-proyek OMS lokal
bekerja secara langsung dalam bidang pendidikan kewarganegaraan.
• Kantor Regional Komisi Tinggi PBB untuk
Hak Asasi Manusia di Asia Tengah mendukung Hak Asasi Manusia
Pusat Informasi dan Dokumentasi.
• United Nation Development Program (UNDP)
Mendukung berbagai proyek OMS yang bekerja di pendidikan kewarganegaraan melalui hibah secara teratur. Dengan dukungan dari UNDP, Biro "Perempuan dalam Pembangunan" (aktivitas utamanya adalah pengembangan kebijakan gender untuk Republik Tajikistan dan gender pendidikan) didirikan pada tahun 1995, dan sekarang
mendukung Hak Asasi Manusia Informasi dan Dokumentasi Center.
• OSCE Center di Dushanbe
mendukung proyek-proyek pendidikan kewarganegaraan. Dalam pelatihan kursus 2002-2004 Asasi Manusia "Hak program" dari Polandia Helsinki Dana Hak Asasi Manusia diselenggarakan untuk wakil OMS dengan dukungan OSCE Pusat. OSCE Center di Dushanbe telah mendukung pengembangan buku pelajaran tentang hak asasi manusia untuk murid kelas 10 di Tajik bahasa.
• Pembangunan Internasional Swedia Cooperation Agency
(SIDA) mendukung Hak Asasi Manusia Informasi dan
Dokumentasi Center.
• Yayasan Internasional untuk Sistem Pemilu (IFES)
Di 2002, IFES mendukung publikasi buku teks
"Kewarganegaraan dan Partisipasi dalam Pemerintahan" (Peran Anda dalam Masyarakat Sipil dari 21st abad), dirancang untuk guru sekolah sebagai suplemen dengan kurikulum sekolah. Pada tahun 2004, IFES di kerjasama dengan Departemen Pendidikan menerbitkan buku teks ("Kewarganegaraan Studi") dalam bahasa Tajik dan memberikan buku untuk guru. Pada bulan Januari 2006, IFES dan LUP OMS dilatih 23 pelatih dalam metodologi interaktif dan kewarganegaraan pendidikan dan pelatih yang pada gilirannya dilakukan serupa pelatihan untuk 490 guru sekolah menengah selama musim dingin liburan. Secara total mereka mengadakan 31 pelatihan untuk wakil-wakil dari 50 kabupaten di seluruh negeri. peserta seminar menerima panduan belajar mandiri bagi para guru dan buku mengenai pendidikan kewarganegaraan bagi siswa di Tajikistan, Rusia, dan Uzbek bahasa. buku berisi teks, latihan, dan ilustrasi serta tugas untuk siswa yang relevan dengan topik berikut:
- Hak asasi manusia (termasuk materi pada undang-undang)
- Sistem pemilu dan partai politik
- Perempuan dalam demokrasi
- Opini publik dan media massa.
Sejak tahun 2000, berkat dukungan keuangan IFES USAID telah melaksanakan program pendidikan kewarganegaraan untuk mendukung proses demokratisasi di Tajikistan. Mengikuti arah dipilih oleh ahli Tajik di bidang pendidikan, IFES
Program Pendidikan Civic berkonsentrasi perhatiannya pada keluarga dan isu-isu lain yang menarik di masyarakat setempat.
•Open Society Institute - Tajikistan (OSI)
sipil mendukung proyek dan program pendidikan. Pusat Gender Penelitian di OSI juga menerapkan program pendidikan kewarganegaraan dan telah aktif sejak tahun 2000. OSI mengimplementasikan program "Etnik Minoritas", dan mendukung proyek-proyek pendidikan kewarganegaraan dilaksanakan oleh kesatuan Nasional Tajikistan.
• Mercy Corps mendukung proyek-proyek pendidikan kewarganegaraan melalui
hibah. Pada 2002-2004 ia menerapkan skala besar tahap dua
program hibah untuk meningkatkan "Ishtirok" (Partisipasi) bekerjasama
dengan OMS banyak.
• Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM)
mendukung berbagai proyek-proyek dan acara lain yang berhubungan dengan pendidikan kewarganegaraan. Pada tahun 2005 - 2006, melaksanakan proyek "Civic Education for Rentan Anak-anak dan Pemuda "dengan partisipasi pemerintah
Tajikistan. IOM dilakukan kampanye informasi bagi kaum muda tentang perdagangan manusia, konsekuensi dari buta huruf hukum, dan perlindungan hak migran.
http://www.akdn.org/publications/civil_society_tajikistan_edu_civic.pdf
Diposting oleh
jafar shodiq sahrudin
di
01.02
0
komentar
Perkawinan Antarnegara Beserta Implikasinya
Selasa, 29 Maret 2011
Status Perkawinan Campuran
Perkembangan manusia sebagai pribadi bermartabat membawa hubungan antara manusia harus berlangsung dalam suasana beradab dan adil serta sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas fundamental keadilan itu adalah pengakuan bahwa semua manusia sama derajat, hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Dari hal diatas dapatlah dikatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar manusia yang harus menjadi perhatian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berkaitan dengan hukum kewarganegaraan, secara konstitusional diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Kemudian lebih lanjut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia yang sebelumnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Indonesia. Dalam Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah diletakkan beberapa prinsip dan mekanisme atas kewarganegaraan, baik mengenai status kewarganegaraan, kehilangan kewarganegaraan serta pewarganegaraan.
Permasalahan status kewarganegaraan menjadi sebuah permasalahan menarik yang perlu dikaji, khususnya status kewarganegaraan seseorang dalam perkawinan antar negara sehingga hal ini membawa implikasi hukum tersendiri. Misalnya seorang wanita yang berkewarganegaraan Indonesia menikah dengan laki-laki kewarganegaraan Amerika Serikat, maka implikasi hukumnya dapat berakibat hilangnya status kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia jika seorang istri tersebut tinggal di Amerika Serikat dan pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Amerika Serikat.
Tidak hanya itu, status kewarganegaraan istri tersebut juga berbeda sekiranya mereka tinggal di selain wilayah Indonesia dan Amerika Serikat. Misalnya Malaysia, maka hal ini tentu membawa akibat hukum atas status kewarganegaraan dan akan kehilangan status kewarganegaraan Indonesia dan Amerika Serikat.
Hal demikian telah menjadi sebuah kelaziman bahwa perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Perkawinan campur juga sering terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah analisis berkaitan dengan status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran, khususnya status hukum yang menyangkut status istri.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana status hukum istri dalam perkawinan campuran apabila istri tinggal di Indonesia?
2) Bagaimana status hukum istri dalam perkawinan campuran apabila istri tinggal di tempat asal suami?
3) Bagaimana status hukum istri dalam perkawinan campuran apabila suami/istri tinggal di tempat lain selain wilayah kewarganegaraa suami/istri?
Kewarganegaraan di Indonesia
Sebelum menguraikan menganai status kewarganegaraan, perlu dikemukakan pengertian dari Warga Negara Indonesia (WNI), yaitu orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah diatur mengenai kewarganegaraan. Seseorang dapat dikatakan sebagai WNI atau berstatus sebagai WNI antara lain:
1) setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 berlaku, amak merupakan warga negara Indonesia.
2) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu yang berkewarganegaraaan Indonesia.
3) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah berkewarganegaraan Indonesia dan ibu berkewarganegaraan asing.
4) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah berkewarganegaraan asing dan ibu berkewarganegaraan Indonesia.
5) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kearganegarn atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
6) anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia.
7) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu berkewarganegaraan Indonesia.
8) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah berkewarganegaraan Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
9) anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
10) anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
11) anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan dan tidak diketahui keberadaannya.
12) anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
13) anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Di samping itu, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia. Sedangkan anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
Berkenaan dengan perlakuan terhadap seseorang yang selain warga negara Indonesia, maka diperlakukan sebagai orang asing. Misalnya, perlakuan pada wisatawan luar negeri di Indonesia. status wisatawan tersebut adalah warga negara asing yang sedang di wilayah Negara Indonesia.
Terhadap warga negara asing yang hendak menjadi warga negara Idonesia dalam upaya mendapatkan perlakuan yang sama sebagaimana warga negara Indonesia, maka dapat diperoleh dengan pewarganegaraan. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui sebuah permohonan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
2) pada waktu mengajukan permohonan pewarganegaraan, seseorang tersebut bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.
3) Sehat jasmani dan rohani.
4) Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
6) Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, maka seseorng tersebut (pemohon) tidak berkewarganegaraanganda.
7) Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap.
8) Membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.
Untuk selanjutnya, permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam Bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri dengan prosedur sebagai berikut:
1) Menteri meneruskan permohonan tersebut disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
2) Setelah permohonan sampai kepada Presiden, Presiden berwenang mengabulkan atau menolak permohonan pewargenagaraan.
3) Apabila permohonan pewarganegaraan dikabulkan maka ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Kepres).
4) Kepres tersebut ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung dejak permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Kepres ditetapkan.
5) Kepres mengenai pengabulan terhadap permohonan pewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
6) Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Kepres dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
7) Apabila setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan, pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah, Kepres tersebut batal demi hukum.
8) Apabila pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau meyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia di hadapan Pejbat lain yang dtunjuk Menteri.
9) Apabila permohonan ditolak, permohonan pewarganegaraan harus disertai alasan dan diberitahukan oleh Meteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri.
Kewarganegaraan Istri Dalam Perkawinan Campuran Yang Tinggal di Indonesia
Berkaitan dengan status kewarganegaraan istri yang kawin dengan suami dari negara lain yang berkewarganegaraan selain Indonesia, berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yaitu perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilang kewarganegaraannya sebagi warga negara republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarga-negaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Namun, apabila menurut negara yang bersangkutan (negara suami) menentukan bahwa kewarganegaraan istri tidak mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat dari perkawinan, maka seorang istri tetap sebagai warga negara Indonesia sepanjang:
a. tidak memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
b. Tidak dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri.
c. Tidak pernah tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara.
Status kewarganegaraan istri dalam perkawinan campuran yang tinggal di tempat asal suami menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yaitu kewarganegaraan istri sebagai warga negara Indonesia hilang. Hal ini karena istri tinggal di luar negeri sebagaimana diatu dalam Pasal 23 huruf c UU 12 Tahun 2006. Di samping itu, istri tidak menolak dan tidak melepaskan kewarganegaraan negara lain dan istri mendapatkan kesempatan untuk menerimanya.
Sedangkan tatus kewarganegaraan istri yang tinggal di tempat lain, yaitu selain Negara Indonesia dan negara asal suami, maka istri tersebut kehilangan kewarganegaraannya. Pertama, istri kehilangan kewarganegaraanya sebagai warga negara Indonesia. Kedua, istri kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara di tempat asal suami.
Atas beberapa fenomena di atas, apabila istri ingin kembali sebagai warga negara Indonesia dan/atau suami menginginkan berkewarganegaraan Indonesia, maka dapat dilakukan melalui beberapa prosedur, antara lain:
a. Mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya sebagai warga negar Indonesia kepada Pejabt atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayhnya meliputi tempat tinggal perempuan, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
b. Surat pernyataan tersebut dapat diajukan oleh perempuan setelah tiga tahun sejak tnggal perkawinannya berlangsung
c. Terhadap suami, suami dapat mengajukan permohonan pewarganegaraan sebagaimana ketentuan yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
Kesimpulan
Terhadap pembahasan yang telah dikemukakan pada lembar sebelumnya, maka dapat diuraikan kesimpulan sebagai berikut:
1) status kewarganegaraan istri yang kawin dengan laki-laki warga negara asing, maka istri kehilang kewarganegaraannya sebagi warga negara republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarga-negaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
2) Dalam perkawinan campuran yang mana seorang istri tinggal di tempat asal suami, maka kewarganegaraan istri sebagai warga negara Indonesia hilang.
3) Status kewarganegaraan istri yang tinggal di tempat lain, yaitu selain Negara Indonesia dan negara asal suami, maka istri tersebut kehilangan kewarganegaraannya. Pertama, istri kehilangan kewarganegaraanya sebagai warga negara Indonesia. Kedua, istri kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara di tempat asal suami.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
————, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
————, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Diposting oleh
jafar shodiq sahrudin
di
23.04
0
komentar
Civic dan Pendidikan Kewarganegaraan di Israel
Diposting oleh
jafar shodiq sahrudin
di
23.04
1 komentar
Sistem Hukum dan peradilan Internasional
Kamis, 17 Maret 2011
Sistem Hukum dan peradilan Internasional
Sistem Hukum dan Perdilan Internasional
Standar Kompetensi : Menganalisis Sistem Hukum dan peradilan Internasional
Kompetensi Dasar : 1. Mendeskripsikan system hukum dan peradilan Internasional
2. Menjelaskan penyebab timbulnya sengketa internasional dan cara penyelesaian oleh mahkamah internasional.
3. Menghargai putusan Mahkamah Internasional
A. Makna Hukum Internasional
Menurut Mochtar Kusumaatmaja, Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara, antara Negara dengan Negara, dan Negara dengan subyek hukum internasional bukan Negara, atau antar subyek hukum internasional bukan Negara satu sama lain.
Hukum Internasional digolngkan menjadi hukum Internasional Publik dengan hukum perdata internasional. Hukum Internasional Publik atau hukum antar negara, adalah asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang bersifat pidana, sedangkan hukuk perdata internasional atau hukum antar bangsa, yang mengatur masalah perdata lintas Negara (perkawinan antar warga Negara suatu Negara dengan warga Negara lain).
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur prthubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai Negara.
J.G.Starke menyatakan, Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum (body of low) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dank arena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar Negara.
B. Asas – asas hukum Internasional
Menurut Resolusi majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas, yaitu :
1. Setiap Negara tidak melakukan ancaman agresi terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan Negara lain. Dalam asas ini ditekankan bahwa setiap Negara tidak memberikan ancaman dengan kekuatan militer dan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan piagam PBB.
2. setiap Negara harus menyelesaikan masalah internasional dengan cara damai, Dalam asas ini setiap Negara harus mencari solusi damai, menghendalikan diri dari tindakan yang dapat membahayakan perdamaian internasional.
3. Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri Negara lain, Dalam asas ini menekankan setip Negara memiliki hak untuk memilih sendiri keputusan politiknya, ekonomi, social dan system budaya tanpa intervensi pihak lain.
4. Negara wajib menjalin kerjasama dengan Negara lain berdasar pada piagam PBB, kerjasama itu dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional di bidang Hak asasi manusia, politik, ekonomi, social budaya, tekhnik, perdagangan.
5. Asas persaman hak dan penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara ditentukan oleh rakyat.
6. Asas persamaan kedaulatan dari Negara, Setiap Negara memiliki persamaan kedaulatan secara umum sebagai berikut :
a. Memilki persamaan Yudisial (perlakuan Hukum).
b. Memilikimhak penuh terhadap kedaulatan
c. Setiap Negara menghormati kepribadian Negara lain.
d. Teritorial dan kemerdekanan politi suatu Negara adalah tidak dapat diganggu gugat.
e. Setap Negara bebas untuk membangun system politik, soaial, ekonomi dan sejarah
bansanya.
f. Seiap Negara wajib untuk hidup damai dengan Negara lain.
7. Setiap Negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajibannya, pemenuhan kewajiban itu harus sesuai dengan ketentuan hukum internasional.
B. Subyek Hukum Internasional
Adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Menurut Starke, subyek internasional termasuk Negara, tahta suci, Palang merah Internasional, Organisasi internasional, Orang perseorangan (individu), Pemberontak dan pihak-pihak yang bersengketa.
· Negara, negara sudah diakui sebagi subyek hukum internasional sejak adanya hukum international, bahkan hukum international itu disebut sebagai hukum antarnegara.
· Tahta Suci (Vatikan) Roma Italia, Paus bukan saja kepoala gereja tetapi memiliki kekuasaan duniawi, Tahta Suci menjadi subyek hukum Internasional dalam arti penuh karena itu satusnya setara dengan Negara dan memiliki perwakilan diplomatic diberbagai Negara termasuk di Indonesia.
· Palang Merah Internasional, berkedudukan di jenewa dan menjadi subyek hukum internasional dalam arti terbatas, karena misi kemanusiaan yang diembannya.
· Organisasi Internasional, PBB, ILO memiliki hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional, sehingga menjadi subyek hukum internasional.
· Orang persorangan (Individu), dapat menjadi subyek internasional dalam arti terbatas, sebab telah diatur dalam perdamaian Persailes 1919 yang memungkinkan orang perseorangan dapat mengajukan perkara ke hadapat Mahkamah Arbitrase Internasional.
· Pemberontak dan pihak yang bersengketa, dalam keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat pengakuan sedbagai gerakan pembebasan dalam memuntut hak kemerdekaannya. Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization) atau Gerakan Pembebasan Palestina.
C. Sumber-Sumber Internasional
Adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi sumber hukumdalam arti materil dan formal. Dalam arti materil, adalah sumber hukum internasional yang membahas dasar berlakunya hukum suatu Negara. Sedangkan sumber hukum formal, adalah sumber dari mana untuk mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber yang paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dipakai Mahkamah internasional dalam memutuskan suatu sengketa internasional.
Sumber hukum internasional formal terdapat dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen 1920, sebagai berikut :
1. Perjanjian Internasional (traktat), adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan mengakibatkan hukum baru.
2. Kebiasaan Internasional yang diterima sebagai hukum, jadi tidak semua kebiasaan internasional menjadi sumber hukum. Syaratnya adalah kebiasann itu harus bersifat umum dan diterima sebagi hukum.
3. Asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab, adalah asas hukum yang mendasari system hukum modern. Sistem hukum modern, adalah system hukum positif yang didasarkan pada lembagaa hukum barat yang berdasarkan sebagaian besar pada asas hukum Romawi.
4. Keputusan-keputusan hakim dan ajaran para ahli hukum Internasional,adalah sumber hukum tambahan (subsider), artinya dapat dipakai untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan pada sumber hukum primer atau utama yaitu Perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan asas hukum umum.
Yang disebut denga keputusan hakim, adalah keputusan pengadilan dalam arti luas yang meliputi segala macam peradilan internasional dan nasional, termasuk mahkamah arbitrase. Ajaran para ahli hukum internasional itu tidak bersifat mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.
D. Lembaga Peradilan Internasional
1. Mahkamah Internasional :
Mahkamah internasional adalah lembaga kehakiman PBB berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1945 berdasarkan piagam PBB, berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen.
Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Anggotanya direkrut dari warga Negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum internasional. Lima berasal dari Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti Cina, Rusia, Amerika serikat, Inggris dan Prancis.
Fungsi Mahkamah Internasional:
Adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subyeknya adalah Negara. Ada 3 kategori Negara, yaitu :
· Negara anggota PBB, otomatis dapat mengajukan kasusnya ke Mahkamah Internasional.
· Negara bukan anggota PBB yang menjadi wilayah kerja Mahkamah intyernasional. Dan yang bukan wilayah kerja Mahkamah Internasional boleh mengajukan kasusnya ke Mahkamah internasional dengan syarat yang ditentukan dewan keamanan PBB.
· Negara bukan wilayah kerja (statute) Mahkamah internasional, harus membuat deklarasi untuk tunduk pada ketentuan Mahjkamah internasional dan Piagam PBB.
Yuridikasi Mahkamah Internasional :
Adalah kewenangan yang dimilki oleh Mahkamah Internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk meentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Kewenangan atau Yuridiksi ini meliputi:
· Memutuskan perkara-perkara pertikaian (Contentious Case).
· Memberikan opini-opini yang bersifat nasehat (Advisory Opinion).
Yuridikasi menjadi dasar Mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa Internasional. Beberapa kemungkinan Cara penerimaan Yuridikasi sbb :
· Perjanjian khusus, dalam mhal ini para pihak yang bersengketa perjanjian khusus yang berisi subyek sengketa dan pihak yang bersengketa. Contoh kasus Indonesia degan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
· Penundukan diri dalam perjanjian internasional, Para pihak yang sengketa menundukkan diri pada perjanjian internasional diantara mereka, bila terjadi sengketa diantara para peserta perjanjian.
· Pernyataan penundukan diri Negara peserta statute Mahkamah internasional, mereka tunduk pada Mahkamah internasional, tanpa perlu membuat perjanjiankhusus.
· Keputusan Mahkamah internasional Mengenai yuriduksinya, bila terjadi sengketa mengenai yuridikasi Mahkamah Internasional maka sengketa tersebut diselesaikan dengan keputusan Mahkamah Internasional sendiri.
· Penafsiran Putusan, dilakukan jika dimainta oleh salah satu atau pihak yang bersengketa. Penapsiran dilakukan dalambentuk perjanjian pihak bersengketa.
· Perbaikan putusan, adanya permintaan dari pihak yang bersengketa karena adanya fakta baru (novum) yang belum duiketahui oleh Mahkamah Internasional.
2. Mahkamah Pidana Internasional :
Bertujuan untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan memastikan pelaku kejahatan internasional. Terdiri dari 18 hakim dengan masa jabatan 9 tahun dan ahli dibidang hukum pidana internasional. Yuridiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Pidana Internasional adalah memutus perkara terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga Negara dari Negara yang telah meratifikasi Statuta Mahkamah.
3. Panel Khusus dan Spesial Pidana internasional :
Adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen atau sementara (ad hoc) dalam arti setelah selesai mengadili maka peradilan ini dibubarkan. Yuridiksi atau kewenangan darai Panel khusus dan special pidana internasional ini, adalah menyangkut tindak kejahatan perang dan genosida (pembersihan etnis) tanpa melihat apakah Negara dari si pelaku itu telah meratifikasi atau belum terhadap statute panel khusus dan special pidana internasional ini. Contoh Special Court for East Timor dan Indonesia membentuk Peradilan HAM dengan UU No. 26 tahun 2000.
D. Sebab-sebab terjadinya Sengketa Internasional
Sengketa internasional (International despute), adalah perselisihan yang terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan individu-individu, atau Negara dengan lembaga internasional yang menjadi subyek hukum internasional.
Sebab-sebab sengketa internasional :
1. Salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam mperjanjiann internasional.
2. Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional
3. Perebutan sumber-sumber ekonomi
4. Perebutan pengaruh ekonomi, politik, atau keamanan regional dan internasional.
5. Adanya intervensi terhadap kedayulatan Negara lain.
6. Penghinaan terhadap harga diri bangsa.
E. Cara penyelesaian Sengketa internasional
Ada dua cara penyelesaian segketa internasional, yaitu secara damai dan paksa, kekerasan atau perang.
· Penyelesaian secara damai, meliputi :
Arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa internasional dengan cara menyerahkannya kepada orang tertentu atau Arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh mereka yang bersengketa, namun keputusannya harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan ( ex aequo et bono).
Prosedur penyelesaiannya, adalah :
1. Masing-masing Negara yang bersengketa menunjuk dua arbitrator, satu boleh
berasal dari warga negaranya sendiri.
2. Para arbitrator tersebut memilih seorang wasit sebagai ketua dari pengadilan
Arbitrase tersebut.
3. Putusan melalui suara terbanyak.
Penyelesaian Yudisial, adalah penyelesaian sengketa internasional melalui suatu pengadilan internasional dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
Negosiasi, tidak seformal arbitrase dan Yudisial. Terlebih dahulu dilakukan konsultasi dan komunikasi agar negosiasi dapat berjalan semestinya.
Jasa-jasa baik atau mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa internasional dimana Negara mediator bersahabat dengan para pihak yang bersengketa, dan membantu penyelesaian sengketanya secara damai. Contoh Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konplik Indonesia Belanda tahu 1947. Dalam penyelesaina dengan Jasa baik pihak ketiga menawarkan penyelesaian, tapi dalam Penyelesaian secara Mediasi, pihak mediator berperan lebih aktif dan mengarahkan pihak yang bersengketa agar penyelesaian dapat tercapai.
Konsiliasi, dalam arti luas adalah penyelesaian sengketa denga bantuan Negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Konsiliasi dalam arti sempit, adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui komisi atau komite dengan membuat laporan atau ussul penyelesaian kepada pihak sengketa dan tidak mengikat.
Penyelidikan, adalah biasanya dipakai dalam perselisioshan batas wilayah suatu Negara dengan menggunakan fakta-fakta untuk memperlancar perundingan.
Penyelesian PBB, Dididrikan pada tanggal 24 Oktober 1945 sebagai pengganti dari LBB (liga Bangsa-Bangsa), tujuan PBB adalah menyelesaikan sengketa internasional secara damai dan menghindari ancaman perang.
· Penyelesaian secara pakasa, kekerasan atau perang :
Perang dan tindakan bersenjata non perang, bertujuan untuk menaklukkan Negara lawan dan membebankan syarat penyelesaian kepada Negara lawan.
Retorsi, adalah pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan – tindakan tidak pantas yang dilakukan Negara lain. Contoh menurunkan status hubungan diplomatic, atau penarika diri dari kesepakatan-kresepakatan fiscal dan bea masuk.
Tindakan-tindakan pembalasan, adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang digunakan suatu Negara untuk mengupayakan memperoleh ganti rugi dari Negara lain. Adanya pemaksaan terhadap suatu Negara.
Blokade secara damai. Adalah tindakan yang dilakukan pada waktu damai, tapi merupakan suartu pembalasan. Misalnya permintaan ganti rugi atas pelabuhan yang di blockade oleh Negara lain.
Intervensi (campur tangan),adalah campur tanagn terhadap kemerdekaan politik tertentu secara sah dan tidak melanggar hukum internasional. Contohnya :
1. Intervensi kolektif sesuai dengan piagam PBB.
2. Intervesi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan warga negaranya.
3. Pertahanan diri.
4. Negara yang menjadi obyek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran
berat terhadap hukum internasional.
F. Penyelesaian melalui Mahkamah internasional
Ada dua mekanisme penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah internasional, yaitu mekanisme normal dan khusus.
· Mekanisme Normal :
1. Penyerahan perjanjian khusus yng berisi tdentitas para pihak dan pokok persoalan sengketa.
2. Pembelaan tertulis, berisi fakta, hukum yang relevan, tambahan fakta baru, penilakan atas fakta yang disebutkan dan berisi dokumen pendukung.
3. Presentasi pembelaan bersifat terbuka dan umum atautertutup tergantung pihak sengketa.
4. Keputusan bersifat menyetujui dan penolakan. Kasus internasional dianggap selesai apa bila :
Para pihak mencapai kesepakatan
Para pihak menarik diri dari prose persidangan Mahkamah internasional.
Mahkamah internasional telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan dan telah dilakukan ssuai proses hukum internasional yang berlaku.
· Mekanisme Khusus :
1. Keberatan awal karena ada keberatan dari pihak sengketa Karen mahkamah intrnasional dianggap tidak memiliki yusidiksi atau kewenangan atas kasus tersebut.
2. Ketidak hadiran salah satu pihak yang bersengketa, biasanya dilakukan oleh Negara tergugat atau respondent karena menolak yuridiksi Mahkamah Internasional.
3. Keputusan sela, untuk memberikan perlindungan terhadap subyek persidangan, supaya pihak sengketa tidak melakukan hal-hal yang mengancah efektivitas persidangan Mahkamah internasional.
4. Beracara bersama, beberapa pihak disatukan untuk mengadakan sidang bersama karena materi sama terhadap lawan yang sama.
5. Intervensi, mahkamah internasional memberikan hak kepada Negara lain yang tidak terlibat dalam sengketa untuk me;lakkan intervensi atas sengketa yangsedang disidangkan bahwa dengan keputusan Mahkamah internasional ada kemungkinan Negara tersebut dirugikan.
G. Contoh Keputusan/kasus Mahkamah Internasioanal
· Amerika serikat di Filipina : tahun 1906 tentara AS melakukan pembunuhan warga Filipina, membunuh dan membakar 600 rakyat desa itu. Para pelakunya telah di sidang di pengadilan militer amun banyak yang dibebaskan.
· Amerika serikat di Cina : pada tahun 1968 terjadi pristiwa My lai Massacre. Kompi Amerika menyapu warga desa denga senjata otomatis dan menewaskan 500 orang. Pra pelakunya telah disidang dan dihukum.
· Amerika serikat di Jepang : pada tahun 1945 lebih dari 40.000 rakyat Jepang meninggal akibat Bom Atom.
· Pembersihan etnis yahudi oleh Nazi Di jerman atas pimpinan Adolf Hitler, Mahkamah Internasional telah mengadili dan menhukum pelaku.
· Jepang banyak membunuh rakyat Indonesia dengan Kerja paksa dan 10.000 rakyat Indonesia hilang. Pengadilan internasional telah dijalankan dan menghukum para penjahatnya.
· Serbia di Bosnia dan Kroasia: anatar 1992-1995 pembersihan etnis kroasia dan Bosnia oleh Kroasia danmembunuh sekitar 700.000 warga Bosnia dan Kroasia. Para penjahat perangnya sampai sekarang masih menjalani proses persidangan di Den Haag,Belanda.
· Pemerintah Rwanda terhadap etniks Hutu : Selama tiga bulan di tahu 1994 antara 500 samapai 1 juta orang etnis Hutu dan Tutsi telah dibunuh ioleh pemerintah Rwanda. PBB menggelar pengadilan kejahatan perang di Arusha Tanzania dan hanya menyeret 29 penjahat perangnya.
· Indonesia dengan Malaysia terhadap kasus Pulau sipadan dan Ligitan, dan Mahkamah internasional memenangkan pihak Malaysia pada ahun 2003. Malaysia adalah pemilik ke dua pulau tersebut. Indonesia menghormatikeputusan tersebut.
· Kasaus Timor TImur diselesaikan secara Intrnasional dengan referendum. Dan sejak tahun 1999 Timor-Timur berdiri sebagai sebuah Negara bernama Republik Tomor Lorosae /Timor Leste.
Diposkan oleh Drs. Munawar Kholil di 5:14:00 AM
Diposting oleh
jafar shodiq sahrudin
di
07.28
0
komentar
masyarakat madani
Selasa, 30 November 2010
A. Pengertian
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara menurut Haynes, tekanan dari “masyarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes, 2000: 28).
Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praktis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko, 2003: 212).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
B. Ciri-ciri Masyarakat Madani
Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik masyarakat madani:
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
a) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
b) Pers yang bebas
c) Supremasi hukum
d) Perguruan Tinggi
e) Partai politik
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
C. Konsep Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani yang menjadi perbincangan dewasa ini pada dasarnya memang mengacu pada konsep civil society yang sudah berkembang di Barat, walaupun akhir-akhir ini sedang digali juga pemikiran yang mengacu kepada “masyarakat Madinah”. Konsep civil society yang telah mapan, sekalipun selalu mengalami pemikiran ulang (rethinking) itu, bukan merupakan konsep yang universal, melainkan historis-kontekstual. Secara historis, civil society dibentuk oleh tiga kejadian besar di Eropa Barat. Pertama, Reformasi Teologis yang menghasilkan sekularisme. Kedua, Revolusi lndustri yang menghasilkan model teknokratisme, baik yang bercorak kapitalisme pasar, sosialisme maupun negara kesejahteraan (welfare state). Ketiga Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang menghasilkan model negara dan masyarakat yang mengacu kepada trilogi liberte, egalite, fraternite dalam berbagai coraknya.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913 Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul.
Atau adi kuasa, civil society berusaha menciptakan interaksi antara negara dan masyarakat dilekati interdependensi, saling mengisi dan saling menguntungkan satu sama lain. Nilai penting yang melekat dalam civil society adalah partisipasi politik dalam arti peran masyarakat sangat diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan publik atau masyarakat dapat mewarnai keputusan publik. Di samping itu juga ada akuntabilitas negara (state accountability) dalam arti negara harus bisa memperlihatkan kepada masyarakat bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku, efisien (mengeluarkan resources secara porposional dengan hasil optimal) dan efektif (tidak merusak atau bertentangan dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat). Selanjutnya, ide civil society menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor swasta maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Melalui forum atau asosiasi semacam itu civil society menjamin adanya kebebasan mimbar, kebebasan melakukan disiminasi atau penyebar luasan opini publik. Itulah sebabnya seringkali dinyatakan bahwa civil society adalah awal kondisi yang sangat vital bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik civil society bertentangan dengan karakteristik political society (yang menempatkan negara pada posisi sentral), namun tidak berarti bahwa civil society harus selalu melawan negara atau harus menghilangkan rambu-rambu politik yang telah dibangun oleh negara, jadi status dan peran negara tetap diperlukan.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913 Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul.
D. Masyarakat Madani Dalam Islam
Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah, kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah). Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani yang kadang disamakan dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.Dalam konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat madani sebagai terjemahan dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata ini secara etimologis mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata ‘madani’ berasal dari kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan banyaknya aktivitas, dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat peradaban, karena kata ‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang berarti ‘peradaban’. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala’a al-badru ‘alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi).
Secara konvensional, perkataan “madinah” memang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban” memang dinyatakan dalam kata-kata “madaniyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “hadharah”. Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.
E. Masyarakat Madani Di Indonesia
Tantangan masa depan demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong berlangsungnya proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan universal. Kita semua harus bahu membahu agar jiwa dan semangat kemanusiaan universal itu merasuk ke dalam jiwa setiap anak bangsa sehingga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, terdapat beberapa pokok pikiran penting dalam pandangan hidup demokrasi, yaitu: (1) pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme, (2) makna dan semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”, (3) mengurangi dominasi kepemimpinan sehingga terbiasa membuat keputusan sendiri dan mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif, (4) menjunjung tinggi moral dalam berdemokrasi (5) pemufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat, (6) terpenuhinya kebutuhan pokok; sandang, pangan, dan papan, dan (7) menjalin kerjasama dan sikap yang baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik masing-masing.
Pemberdayaan masyarakat madani ini menurut penulis harus di motori oleh dua ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi Islam ini usia lebih tua dari republik. Oleh karena itu, ia harus lebih dewasa dalam segala hal. Wibawa, komitmen dan integritas para pemimpin serta manajemen kepemimpinannya harus bisa seimbang dengan para pejabat negara, bahkan ia harus bisa memberi contoh baik bagi mereka. Ayat yang disebutkan di awal itu mengisyarakat bahwa perubahan akan terjadi jika kita bergerak untuk berubah.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Dan bila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia,”(QS Ar-Ra’d [13]: 11).
Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Untuk membangun masyarakat yang maju dan berbudaya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dengan iman dan takwa, paling tidak harus ada tiga syarat: menciptakan inovasi dan kreasi, mencegah kerusakan-kerusakan sumber daya, dan pemantapan spiritualitas. Masyarakat madani itu hendaknya kreatif terhadap hal-hal baru, antisipatif dan preventif terhadap segala kemungkinan buruk, serta berketuhanan Yang Maha Esa.
Jika syarat-syarat dan komponen-komponen masyakarat madani berdaya secara maksimal, maka tata kehidupan yang demokratis akan terwujud. Selain ikut membangun dan memberdayakan masyarakat, masyarakat madani juga ikut mengontrol kebijakan-kebijakan negara. Dalam pelaksanaannya, mereka bisa memberikan saran dan kritik terhadap negara. Saran dan kritik itu akan objektif, jika ia tetap independen. Setiap warga negara berada dalam posisi yang sama, memilik kesempatan yang sama, bebas menentukan arah hidupnya, tidak merasa tertekan oleh dominasi negara, adanya kesadaran hukum, toleran, dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
F. Analisa Masalah
Sesuai dengan pengertian dan masyarakat yaitu masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak kekurangan yang terjadi dinegara kita.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1). Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2). Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3). Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4). Tingginya lapangan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya:
1). Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan.
2). Sebagai advokasi bagi masyarakat yang teraniaya, tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun.
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu yang mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Konsep civil society dalam arti politik bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko, 2003: 212).
Antara masyarakat madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka. Nilai-nilai yang juga dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang berlaku.
Komunitas Muslim awal merupakan masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya adalah tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak berdasarkan keturunan (heredities), tapi kemampuan (Robert N. Bellah, 2000: 211).
Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah, kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah). Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani – yang kadang disamakan dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.
Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).
Dilihat dari sejarahnya civil society yang bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern.
Diposting oleh
jafar shodiq sahrudin
di
07.23
0
komentar